Berkomunikasi (doa) dengan alam yang tidak disertai dengan paribaso dalam religi tradisional masyarakat Dayak Salako adalah sengko’ (timpang), dan ini amai’ (tabu) dilaksanakan. Mengapa alam sebagai sahabat harus ada paribaso, sebagai wujud nyata dari rasa hormat dan tali persahabatan yang dinginkan oleh manusia. Berkomunikasi tanpa adanya hormat dan tali persahabatan yang dinginkan oleh manusia. Berkomunikasi tanpa adanya sesuatu yang melengkapi komunikasi itu (sesuatu yang diberikan) dikatakan berkomunikasi dengan ai’ iur bari’ (air liur basi), artinya hanya omong kosong saja. Bentuk paribaso yang paling sederhana sebagai pelengkap komunikasi itu adalah antek (selembar sirih yang sudah diolesi kapur, irisan pinang dan gambir serta rokok daun dan tembakau). Perilaku ini terbawa dalam interaksi antar manusia Dayak dalam kehidupannya ketika mengunjungi kerabat atau temannya. Seseorang biasanya akan membawa oleh-oleh berupa kueh – walaupun sederhana namun bermakna – untuk anak-anak keluarga yang dikunjunginya dengan tujuan untuk menbina ikatan ekosional yang kuat antara kedua belah pihak.
Melalui upacara ritualnya (doa dan kurba) manusia mengundang semua unsur-unsur non-manusia itu untuk hadir, mendengarkan permohonan manusia, dan menikmati kurban persembahan yang telah disiapkan untuk mereka. ”Mereka” – menurut pemahaman masyarakat Dayak Selako menikmati persembahan kurban itu dari aroma (sau)-nya saja. Sebaliknya, manusia menerima berkat berupa rejeki, kesehatan dan keselamatan dari ”mereka” dengan menikmati kuran persembahan itu. Manusia meakan ”sisa” makanan yang mengandung berkat ”mereka”. Manusia mendahulukan ”mereka” menikmati kurban persembahan yang masih utuh dan sebalikny manusia memakan ”sisa” dari ”mereka” dalam upacara ritual itu menandakan bahwa manusia bersikap hormat dan bersahabat dengan alam. Hal itu dapat dilihat dari petikan doa penutup ritual (ngangkat buis) yang diucapkan oleh panyangohotn (imam):